Early Warning System Versi Kearifan Lokal
Tanggal : 09 Mar 2021
Ditulis oleh : NURUL UMAH
Disukai oleh : 1 Orang
Indonesia terletak pada pertumbukan tiga lempeng dunia, yaitu lempeng Indo-Australia, lempeng Eurasia, dan lempeng Pasifik. Tumbukan tiga lempeng tersebut mengakibatkan terbentuknya Ring of Fire atau rangkaian gunung api aktif yang terbentuk aktivitas seismik dan gempa dengan intensitas tinggi. Jadi tidak heran jika sering terjadi bencana alam seperti tsunami, gempa bumi, gunung meletus, tanah longsor dan sebagainya. Letak Indonesia yang berada diantara dua benua dan dua samudra, yakni Benua Asia dan Benua Auatralia serta Samudra Pasifik dan Samudra Hindia. Pertemuan dua benua dan dua samudra tersebut menyebabkan Indonesia beriklim laut sehingga, curah hujan tinggi dan memicu banjir. Dari data tersebut kita sudah mengetahui bahwa Indonesia merupakan surganya bencana.
Bencana alam merupakan suatu hal yang pasti terjadi serta tidak dapat dihindari, semua itu adalah garis takdir dari sang pencipta. Manusia tidak dapat mengubah takdir, namun kita dapat meminimalisir akibat atau dampak yang timbul dari bencana tersebut. Salah satu caranya dengan melakukan mitigasi bencana yang sudah diajarkan turun temurun oleh nenek moyang. Mitigasi bencana pun sudah masuk pada materi pembelajaran di sekolah. Jadi peserta didik sudah di beri pemahaman tentang mitigasi bencana sejak dini. Untuk mendukung pembelajaran tersebut kita dapat memanfaatkan apa yang sudah ada di alam. Teknologi memang sudah semakin canggih banyak alat-alat untuk mendeteksi berbagai macam bencana. Akan tetapi, masyarakat pedesaan dan pedalaman masih terkendala banyak hal untuk menggunakan teknologi tersebut. Sehingga mereka memanfaatkan kearifan lokal daerah mereka yang sudah turun temurun dari leluhur mereka. Namun, tidak bisa dipungkiri hal tersebut ternyata cukup efektif untuk dijadikan early warning system (peringatan dini). Hal kecil yang sering kali dianggap sepele ternyata memberikan dampak besar.
Seperti di Kepulauan Mentawai, wilayah yang kerap dilanda gempa bumi. Masyarakat Mentawai sendiri juga memiliki mitigasi berbasis kearifan lokal yang bersifat kultural. Mereka memiliki lagu daerah berjudul “Teteu Amusiast Loga” yang artinya gempa akan datang tupai sudah menjerit. Lagu ini sering dinyanyikan oleh anak-anak Mentawai saat sedang bermain, tanpa mengetahui makna lagu tersebut. Menurut kepercayaan masyarakat Mentawai teteu adalah salah satu penguasa bumi. Jika marah ia akan mengguncangkan bumi (gempa). Sebelum gempa ada beberapa pertanda yang disampaikan binatang. Seperti tupai mulai gelisah dan ayam berkokok tanpa sebab. Semua itu merupakan peringatan dini yang bersifat kultural bagi masyarakat Mentawai.
Tidak hanya masyarakat Mentawai, masyarakat Yogyakarta juga memiliki early warning system sendiri dari alam. Seperti yang kita ketahui di Yogyakarta terdapat gunung berapi aktif yaitu gunung merapi yang kapan saja bisa meletus. Oleh karena itu, masyarakat harus selalu siaga dan mengamati tanda-tanda di sekitar mereka. Salah satunya adalah bunyi “plethok-plethok” yang dihasilkan oleh bambu yang berada di hutan. Bunyi tersebut timbul akibat perubahan temperatur suhu di kawasan tersebut. Ketika sudah mendengar suara plethok-plethok bambu masyarakat sudah mengetahui jika gunung akan segera meletus. Jadi mereka dapat mempersiapkan diri dan meminimalisir korban jiwa.
Tidak hanya bambu ternyata pohon pisang pun ikut berperan dalam mitigasi bencana masyarakat Yogyakarta. Berdasarkan penelitian pohon pisang mampu menghambat laju erupsi. Pohon pisang memiliki cadangan air di 80% bagian tanaman. Sehingga, mampu bertahan di tengah awan panas merapi. Pohon pisang tergolong tanaman sukulan yang mengandung banyak air, sehingga perpindahan panas akibat erupsi akan berjalan lamban saat mengenai tamanan tersebut. Selain manfaat untuk mitigasi pohon pisang juga memiliki nilai komersial yang tinggi. Hampir semua bagian dari pohon pisang dapat digunakan mulai dari daun, buah, dan batangnya mempunyai nilai ekonomi. Jadi penanaman pohon pisang di Yogyakarta perlu digalakkan secara besar-besaran. Semakin banyak rumpun pohon pisang akan memperlambat jalannya erupsi dan laju awan panas.
Begitu banyak kearifan lokal di Indonesia yang berbeda-beda setiap daerahnya. Selain sebagai kekayaan budaya ternyata kearifan lokal memiliki peran yang besar dalam upaya mitigasi. Namun, masyarakat sering kali kurang peka terhadap hal ini. Jadi tugas pemerintah untuk terus mensosialisasikan kearifan lokal sebagai salah satu upaya mitigasi. Suatu tindakan kecil yang memberi pengaruh besar. Terkadang perilaku atau kebiasaan masyarakat yang meniru perilaku leluhurnya tanpa sadar mereka telah melakukan tindakan mitigasi. Mari kita lestarikan budaya daerah dan mengoptimalkan sumber daya alam lokal sebagai salah satu langkah dini untuk menaggulangi bencana. Selain itu, pelaksanaan dari mitigasi bencana yang berbasis kearifan lokal ini akan memiliki keunikan tersendiri, tergantung di daerah mana kearifan lokal tersebut berasal yang akan memberi ciri khas pada masing-masing daerah.
POST TEBARU
- Penerjunan Magang Mahasiswa Pendidikan Kimia di Lembaga Pengkajian Pangan, Obat-Obatan, dan Kosmetik (LPPOM) MUI DIY
- Mengabdi kepada Lingkungan: Refleksi Magang di Balai Laboratorium Lingkungan DLHK DIY
- Melacak Jejak Deterjen di Sungai Yogyakarta: Sebuah Pengalaman Magang yang Membuka Mata
- Kurikulum Merdeka: Harapan Baru untuk Pendidikan Indonesia
- Clean Water, Bright Future: Mahasiswa Pendidikan Kimia Teliti Kualitas Air Kota Yogyakarta